Adsense Link 728 X 15;

Kami saja Bisa, Pemerintah apalagi?

Posted by selaluadadisiniuntukmu Minggu, 11 Maret 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300
Kami saja Bisa, Pemerintah apalagi?

Bagi kami warga Kota Sigli, Pidie, untuk menatap Gunung Seulawah Dara dengan terang-benderang, terutama saat halimun tidak tengah menyelimuti gunung itu. Tak perlu jauh-jauh. Datang saja ke Gampong Baro, sekitar tiga kilometer ke arah barat kota, sang gunung akan terpampang bagai landscap di layar depan handphone.

Pegunungan Seulawah

Pegunungan Seulawah (AcehPedia.org)

Di Gampong Baro-pun tempat yang lebih khusus adalah di mesjidnya yang kebetulan terletak persis di pinggiran sawah. Dari mesjid ini, terutama melalui teras sayap kanan–yang bangunannya didekor tanpa dinding sekeliling khususnya bagian depan–kami bisa duduk dalam tafakkur iktikaf sembari mata memandang lepas ke hamparan sawah yang luas.

Dari sayap kanan mesjid itu pula, nun jauh di batas pandang sana Gunung Seulawah Dara dan barisan bukit rendah yang memanjang di sisinya dapat ditatap sejelas memandang sebuah benda di depan mata.

Nah, ketika dalam dua hari belakangan ini orang-orang mulai bicara lagi mengenai pelarangan perambahan hutan lindung yang tidak mempan dengan hanya moratorium logging. kita langsung terbayang ke sisi bagian timur Gunung Seulawah Dara yang cenderung kita pandang lama-lama setiap jum’atan di Mesjid Gampong Baro, seperti juga pada Jum’at (09/3) kemarin.

Dan memang terasa nian dari penglihatan jarak jauh itu, betapa kian pekan gunung itu kian melebar areal kegundulannya. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa semua itu adalah akibat aktivitas pembukaan lahan perladangan baru dan aksi penebangan pohon berlatar belakang bisnis kayu liar.

Tatapan dari teras mesjid itu, tentu mengingatkan kita ke beberapa kali perjalanan jelajah rimba bersama grup darmawisata alam dari Padang Tiji. Dimana pada suatu hari, ketika perjalanan hendak menukik ke pedalaman rimba pinggiran kaki Gunung Seulawah Inong, kami tiba-tiba berhadapan dengan sebuah pemandangan yang kontras dengan struktur rimba, yaitu sebuah kamp beratap terpal plastik yang memancing keinginan merebahkan tubuh-tubuh kami yang kelelahan.

Dan ketika kami hendak mendekat ke kamp yang di halamannya penuh dengan balok-balok kayu yang masih mengeluarkan getah-getahnya di bekas-bekas langgam mesin gergaji dan tersusun rapi hingga ketinggian nyaris sebatas dada orang dewasa itu, kami pun menangkap satu gejala aneh yang tiba-tiba terjadi di seputar kamp tersebut. Yakni semacam suara-suara semak belukar yang diterjang oleh kaki-kaki yang berlari dengan tergesa-gesa.

Kami, sebagaimana arahan kepala rombongan kami, yaitu seorang pawang hutan, tidak usah takut bahkan abaikan saja suara-suara itu. Kami diminta duduk-duduk atau rebah-rebah diri saja di seputar kamp atau di atas susunan balok-balok kayu itu. Jangan usil tangan! Jangan ganggu-ganggu isi kamp! Duduk manis saja, atau bicara-bicara seronoh untuk membantu lebih cepat proses netralitas lelah tubuh.

Tapi tak lama kemudian ketika kami hendak beranjak lagi. Namun tiba-tiba dari arah semak-semak belukar tadi, terdengar sebuah kalimat bernada lega. “Oo, kami pikir tadi siapa.”

Rupanya orang itu adalah satu dari beberapa anggota penghuni kamp tersebut. Mereka adalah penebang liar. Balok-balok kayu yang tersusun itu adalah hasil tebangan tak berizin di kawasan terlarang. Dan tadi mereka lari masuk belukar karena mengira kami adalah tim gabungan yang dikoordinir Dinas Kehutanan.

Peristiwa itu terjadi pada medio 2008. Setelah itu, pada penjelajahan-penjelajahan berikutnya kami acap menempuh rute berbeda. Ternyata di setiap rute selalu saja kami menemui tanda-tanda bekas kamp para pembalak liar.

Hal ini membuat kita berpikir. Jika, Kami saja yang hanya tim darmawisata dapat menangkap basah para perambah hutan, konon lagi tim gabungan khusus yang dibentuk pemerintah.?musmarwan abdullah

Follow Twitter
Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar